Selasa, 29 Juli 2008

KEBANGKITAN NEGARA-NEGARA AMERIKA LATIN MENANGKAL PENGARUH AMERIKA SERIKAT (gafur djali)





Hegemoni AS [1]
Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an, komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front: Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba (Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975), dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS harus memberikan bantuan kepada “our local friend”: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973), rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam “Dirty War” (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994), gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga Amerika Latin: El Salvador, Guetemala, dan Honduras.
Memasuki milenium baru, terjadi tranformasi paradigma kebijakan luar negeri AS; anti terorisme-sentris menggeser anti komunisme-sentris. Komunisme bukan lagi menjadi momok yang menakutkan. Uni Soviet telah lama hancur di tahun 1991. Beberapa negara eks komunis di Eropa Timur sudah menjadi anggota NATO (Hongaria, Polandia, dan Republik Czech). Beberapa negara eks komunis lainnya diperkirakan segera menyusul. Di Asia Tengah, negara eks komunis malah menjadi sekutu terdekat AS dalam “global war on terrorism” (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan Kyrgystan.
China memang masih komunis, tetapi bukan itu yang ditakutkan. Analisis futuristik (tahun 2020) yang dikeluarkan CIA memprediksikan China (bersama India) akan menjadi kekuatan utama masa depan (new major global player) yang mampu menandingi kekuatan AS (National Intellegence Council, Mapping the Global Future, cia.gov, Desember 2004). Bukan karena ideologi komunis Mao, melainkan karena China memiliki apa yang disebut sebagai 4 faktor penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran pertahanan, dan inovasi teknologi (Gregory F. Treverton dan Seth G Jones, Measuring National Power, rand.org). Populasi China mencapai 1,299 miliar jiwa (CIA The World Fact Book 2005, cia.gov, 10/02/2005). Produk domestik bruto China mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara China pada 2004 telah mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya (Newsweek, Februari 2005).
Hegemoni AS di Amerika Latin
Perkembangan situasi di Amerika Latin akhir-akhir ini makin menarik perhatian banyak orang di berbagai negeri di dunia, bukan saja karena terpilihnya mantan tapol perempuan (Michelle Bachelet) menjadi presiden terpilih di Cili, atau terpilihnya pemimpin gerakan petani suku Indian (Evo Morales) di Bolivia sebagai presiden yang anti-Amerika, tetapi juga karena aksi-aksi politik yang revolusioner presiden Venezuela, Hugo Chavez.
Sementara itu, Fidel Castro semakin tua. Kepemimpinan “one man show” di Kuba memberikan peluang munculnya situasi yang berbeda jika suatu saat Castro meninggal dunia. Di sisi lain, Kuba yang memiliki penduduk 11,3 juta ini bukan negara penentu di Amerika Latin. Terbukti, Castro kini bergandengan tangan dengan Hugo Chavez (Venezuela) menggalang resistensi anti AS. Amerika menilai wilayah Amerika Latin sangatlah strategis di tinjau dari segi ekonomi maupun keamanan. Di bidang ekonomi, posisi Negara-negara Amerika Latin sangat penting karena merupakan salah satu angota OPEC yaitu produsen serta eksportir minyak terbesar nomor lima di dunia dengan kapasitas ekspor mencapai 3 juta barel per hari. Dalam bidang keamanan AS menilai posisi Amerika Latin sebagai ancaman terbesar karena letak geografis yang dekat dan perkembangan militer cukup signifikan di masing-masing Negara.
Melihat beberapa situasi real yang sedang berlaku di Amerika latin mulai dari sikap kurang bersahabat para pemimpin Amerika Latin, kebijakan nasional yang merugikan AS, limpahan kekayaan minyak dan potensi ancaman keamanan maka AS dengan segala cara dan kemampuannya melakukan suatu upaya agar hegemoninya di kawasan ini tidak hilang sehingga menguntungkan AS itu sendiri. Maka munculah tekanan-tekanan dari AS yang di tujukan oleh beberapa pemimpin yang kurang bersahabat (kastro, Chavez, morales dll) baik berupa tekanan politik, ekonomi bahkan intimidasi keamanan. Dalam kondisi tertekan oleh AS Negara-negara Amerika latin justru bangkit melawan mengerahkan segala kemampuna dan potensi nasional maupun regional untuk membendung serangan AS tersebut, maka di mulailah satu babak baru perlawanan Negara-negaraamerika latin dalam menentang hegemoni AS.
Kebangkitan Amerika Latin [2]
Amerika Latin bangkit melakukan konsolidasi nasional maupun regional untuk membendung tekanan dan hegamoni AS di kawasan tersebut. Terdapat beberapa langkah progresif yang dilakukan antara lain dengan kampanye sosialisme abad -21, gelombang gerakan social, pembentukan bank selatan, optimalisasi dan nasionalisasi sumber minyak. Langkah ini ternyata cukup efektif untuk membendung bahkan menghilangkan pamor AS di Amerika Latin.
Gelombang Gerakan Sosial di Amerika Latin [3]
Tidak bisa dipungkiri, apa yang terjadi di Amerika Latin saat ini, sebagian besar merupakan hasil dari proses panjang gelombang gerakan sosial yang marak tumbuh dan berkembang di banyak tempat di wilayah ini. Kehadiran mereka, baik secara kultural maupun struktural, merupakan reaksi dan sekaligus bagian dari sikap politik mereka terhadap berbagai bentuk represi, ketidakadilan, dan kemiskinan yang berasal dari pemerintah, modal asing, dan tekanan eksternal lainnya.
Secara gamblang, jika kita mengutip James Petras, seorang akademisi dan aktivis yang banyak membantu masyarakat tanpa tanah di Brazil, ada tiga gelombang gerakan sosial yang saling tumpang tindih dan berkaitan dalam 25 tahun belakangan ini. Gelombang yang pertama, secara gampangnya, muncul pada akhir 1970an hingga pertengahan 1980an. Pada umumnya, gerakan ini yang kemudian dikenal sebagai “gerakan sosial baru” (the new social movements), terdiri dari aliansi kekuatan sosial seperti kalangan aktivis hak asasi manusia, lingkungan, feminis, etnis dan juga Lembaga Swadaya Masyarakat (NGOs). Kepemimpinan mereka umumnya berasal kelas menengah-bawah profesional, dimana strategi dan kebijakan mereka berkisar pada upaya perlawanan terhadap kekuasaan otoritarian militer dan sipil, yang telah banyak memakan korban jiwa. Orang terbunuh, diculik atau dihilangkan secara paksa, disiksa dan dipenjara dengan alasan Keamanan Nasional, adalah hari-hari yang paling “hitam” yang dihadapi masyarakat pada umumnya dalam perjalanan politik Amerika Latin.
Gelombang kedua, yang berkembang menjadi kekuatan politik yang signifikan, berawal dari pertengahan 1980an hingga saat ini. Sebagian besar gerakan ini dipimpin dan terdiri dari petani dan buruh tani, di mana organisasi massanya terlibat dalam aksi-aksi langsung, dalam upayanya mempromosikan dan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi dari pendukungnya. Yang paling menonjol dari gerakan ini gerakan Zapatista (Ejércite Zapatista de Liberación Nacional - ZLN) di Meksiko, Gerakan Pekerja Pedesaan Tak Bertanah (Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra - MST), gerakan petani koka masyarakat Indian (Cocaleros) di Bolivia, Federasi Petani Nasional (National Peasant Federation) di Paraguay, Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (Revolutionary Armed Forces of Colombia - FARC) di Kolombia, dan gerakan petani Indian yang tergabung dalam Konfederasi Kebangsaan Masyarakat Adat Ekuador (CONAIE) di Ekuador.
Gerakan ketiga, yang merupakan gelombang gerakan sosial yang lebih baru, berpusat wilayah-wilayah urban. Di sini, termasuk gerakan massa pekerja pengangguran berbasis barrio (komunitas) di Argentina, kalangan pegangguran dan kaum miskin di Republik Dominika, dan penduduk yang bermukim di rumah-rumah gubuk yang menaruh harapannya di belakang bendera populis yang diusung oleh Hugo Chavez, presiden Venezulea. Lain daripada itu, ada gerakan urban yang tampilannya adalah new multi-sectorial movements (gerakan multisektoral baru) yang melibatkan perjuangan massa yang mengintegrasikan buruh tani dan petani bertanah menengah dan kecil yang berkembang di Kolombia, Meksiko, Brazil, and Paraguay.
Meledaknya gerakan kelas buruh dan petani di banyak negara di wilayah Amerika Latin sepuluh tahun belakangan ini dalam memperjuangkan masalah tanah dan kekuasaan politik, telah membatalkan keyakinan mereka yang berasal dari tradisi marxis ortodoks maupun liberal. Kalangan akademisi, khususnya kebanyakan ekonom maupun ilmuwan politik, yang menyakini bahwa liberalisme ekonomi dan politik pada akhirnya akan mengakhiri perjuangan ideologi massa, ternyata menguap dengan kemunculan Zapatistas, FARC, dan CONAIE. Kita mencatat, gerakan-gerakan ini memiliki majelis masyarakat yang terorganisir dalam peran dan posisi mereka untuk menentang kekuasaan yang tiran, korup, dan reaksioner. Mereka sendiri pada saat bersamaan, juga aktif terus menerus mengartikan dan memperluas suatu bentuk demokrasi langsung yang lebih subsrtantif. Sentralitas aksi-aksi langsung yang dilakukan oleh berbagai gerakan ini menampar pusat jantung eksploitasi kapitalis, yang seringkali aksi-aksi tersebut melumpuhkan produksi dan sirkulasi produksi yang sangat penting bagi reproduksi rejim neoliberal.

Sosialisme Abad – 21 [4]
Salah satu dari berbagai pertanda tentang pentingnya perkembangan di Amerika Latin dapat dilihat dari diselenggarakannya Forum Sosial Sedunia yang diadakan di Caracas antara tanggal 24 Januari sampai 29 Januari 2006, yang dihadiri oleh lebih dari 70. 000 orang dari berbagai negeri di dunia dan sekitar 5000 pekerja pers internasional dan media massa lainnya. Ribuan wakil atau delegasi LSM dari banyak negeri di dunia telah hadir dalam pertemuan besar ini. Forum Sosial Sedunia di Caracas ini, yang merupakan Forum Sedunia yang ke-6, sebagai kelanjutan yang diadakan di Porto Allegre (Brasilia) dalam tahun 2001 dan yang terakhir di Bamako (Mali) telah menunjukkan corak politik anti-neo liberalisme dan anti-AS yang lebih menonjol dari pada yang sudah-sudah. Forum Sosial Sedunia di Caracas diliputi oleh suasana “kemenangan kiri” di benua Amerika Latin. Selama dilangsungkan Forum banyak dibicarakan orang tentang Kuba, Venezuela, Bolivia, Cili, Argentina, dan perkembangan di Peru atau Meksiko.

Minyak Sebagai Kekuatan [5]
Berbagai kalangan dalam industri minyak memperkirakan bahwa Venezuela menguasai simpanan minyak sampai 1,3 triliun barrel. Jumlah ini sama dengan seluruh jumlah persediaan minyak seluruh dunia. Presiden Hugo Chavez mengatakan bahwa Venezuela memiliki sumber minyak yang terbesar di dunia yang baru bisa habis 100 tahun lagi. Walaupun data resmi OPEC 2005 menunjukan cadangan terbukti minyak negara ini hanya kira-kira 80 milyar barel, -bandingkan dengan Arab Saudi 284 milyar barel, Iran 136 milyar barel, AS hanya 21 milyar barel, namun ini adalah lebih 70 persen dari cadangan keseluruhan Amerika Latin
Hugo Chavez akan minta kepada sidang OPEC di bulan Juni yang akan datang, untuk mengukuhkan secara resmi bahwa persediaan minyak Venezuela sekarang ini sudah lebih besar dari pada Saudi Arabia. Kedudukan Venezuela dalam OPEC makin kelihatan menonjol, karena keberanian pemerintahnya mengambil tindakan-tindakan untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan melawan maskapai-maskapai internasional. Venezuela mengadakan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan minyak negara di Tiongkok (dengan CNPC), India (dengan ONGC), dan Iran (dengan Petropars).
Berbagai kalangan memperkirakan bahwa setiap harinya sekitar $200 juta hasil minyak masuk ke kas negara Venezuela, dan lebih dari separonya datang dari pasaran Amerika Serikat. Saat ini 74,6 persen kebutuhan minyak USA sebagian besar diimpor dari Kanada, Meksiko, Arab Saudi, Venezuela, dan Nigeria. Kelihatannya, dalam menghadapi persoalan minyak dari Venezuela ini Washington dalam posisi terjepit. Karena kebutuhan minyak besar sekali maka AS tepaksa harus mengimpor banyak minyak dari Venezuela sampai bermilyar-milyar dollar, meskipun permusuhan antara Venezuela dan Washington makin meruncing. Washington tidak senang dengan pemerintahan Hugo Chavez, yang selain memusuhi AS terang-terangan dan dengan sikap keras, juga dianggap penyebar ketidak-stabilan di benua Amerika Latin. Dengan melimpahnya uang dari minyak, pemerintahan Hugo Chavez bisa menjual minyak dengan harga murah untuk Ekuador dan negara-negara kecil di Karibia, bahkan sampai jugamenolong orang-orang yang tidak mampu di AS.
Washington menuduh Hugo Chavez “membeli” pengaruh di banyak negeri, dengan uang yang didapat dari minyak. Tindakan-tindakan pemerintahan Hugo Chavez dalam memaksa begitu banyak maskapai-maskapai besar multinasional di bidang minyak untuk mematuhi peninjauan kembali kontrak-kontrak ini -dan bahkan sampai mensita 2 di antaranya -telah merupakan kejadian penting sekali dan cukup “mengagetkan” dalam dunia bisnis internasional. Dalam rangka perjuangan rakyat berbagai negeri melawan neo-liberalisme dan globalisasi, dimana perusahaan-perusahaan raksasa multinasional juga memainkan peran besar, maka apa yang terjadi di Venezuela memberikan semangat atau inspirasi bagi banyak orang. Dapat diduga bahwa menghadapi kekuasaan yang begitu berani dari pemerintahan Hugo Chavez, perusahaan-perusahaan raksasa multinasional bersama berbagai pemerintahan (terutama AS) tidak akan tinggal diam dan membiarkan pemerintahan Hugo Chavez terus-menerus melakukan politik yang merugikan kepentingan mereka. Berbagai sumber memberikan informasi bahwa Amerikat Serikat sedang terus berusaha mengisolasi Venezuela, yang sekarang dianggap lebih berbahaya dari pada Kuba. Menteri Luarnegeri Venezuela mengatakan bahwa serangan AS terhadap Venezuela bisa saja terjadi setiap waktu, dan gejala-gejalanya sudah nampak dengan lebih jelas (mengenai hal ini akan ada tulisan tersendiri). Tetapi, serangan AS terhadap Venezuela akan membawa akibat buruk yang besar sekali, bagi hubungan AS dengan berbagai negara Amerika Latin, dan juga di benua lainnya. Di samping itu supply minyak sebesar 1,5 juta barrel per hari untuk pasaran AS akan terputus, sehingga akan menimbulkan kesulitan-kesulitan transport dan ekonomi yang tidak ada taranya bagi AS. Presiden Hugo Chavez meramalkan bahwa harga minyak akan bisa membubung sampai $150-$200 per barrel, kalau Venezuela diserang AS.
Memang, cepat atau lambat, mungkin sekali AS akan bertindak terhadap pemerintahan Hugo Chavez, yang sudah dianggap “keterlaluan” dalam sikapnya yang menghina Bush beserta pembesar pembesar AS lainnya dan membahayakan lebh lanjut pengaruh AS di berbagai negeri. Kalau ini terjadi, maka situasi dunia bisa menjadi geger, dan sulit dibayangkan apa saja yang akan menjadi buntutnya
Bank Of The South [6]
Chavez dan Kirchner adalah dua tokoh Amerika Latin yang memulai inisiatif pendirian bank regional pada tahun 2006 lalu. Mereka berharap pembentukan bank tersebut akan membantu kawasan tidak didikte Bank Dunia dan IMF. Mereka mengatakan, kawasan ingin menghindari dampak negatif dari keberadaan Bank Dunia dan IMF dengan resep-resep neokolonialisme berbalutkan ekonomi pasar. Sebelumnya, Chavez mengecam IMF. "Lembaga IMF adalah sebuah kutukan bagi kawasan," kata Chavez. Ia juga mengecam IMF dengan kebijakannya yang mengejutkan secara politik, yang kemudian terbukti menyebabkan kemiskinan, kelaparan, dan kekerasan bagi rakyat Amerika Latin. Presiden Lula dari Brasil mengatakan, Bank Selatan akan membiayai proyek infrastruktur, sains, dan teknologi, serta akan memberi sebuah kekuatan yang akan menghasilkan keseimbangan di kawasan. Presiden Correa dari Ekuador mengatakan, Bank Selatan akan membantu Amerika Latin melepaskan diri dari jerat keuangan yang dipasang Bank Dunia dan IMF. Menurut Correa Ini adalah sebuah langkah besar menuju integrasi Amerika Latin. Kami memiliki masa lalu yang sama, kini kami sedang menuju masa depan di dalam kebersamaan.
Presiden Morales dari Bolivia mengatakan, Bank Selatan akan membantu kawasan mengembangkan mata uang sendiri. Hal ini juga menjadi alat untuk menolak tekanan Barat lewat pinjaman yang mereka kucurkan. IMF dan Bank Dunia menuntut swastanisasi perusahaan milik negara sebagai imbalan dari kucuran pinjaman. Enam presiden Amerika Selatan menandatangani dokumen-dokumen pembentukan Bank Selatan (Bank of the South) di Buenos Aires, yang dimaksudkan sebagai lembaga keuangan alternatif di kawasan tersebut bagi Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Presiden Nestor Kirchner dari Argentina - yang berakhir masa jabatannya Senin -, Presiden Brazilia Lula da Silva, Presiden Ekuador Rafael Correa, Presiden Paraguay Nicanor Duarte Frutos dan Presiden Venezuela Hugo Chavez membubuhkan tandatangannya pada acara itu. Kawasan ingin memberi jawaban dan sekaligus sikap ke pada Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) bahwa mereka bisa hidup tanpa dua lembaga keuangan internasional. Bank Selatan akan mulai beroperasi pada tahun 2008 dengan modal awal 7 miliar dollar AS. Markas Bank Selatan ada di Caracas, Venezuela, tetapi memiliki kantor perwakilan di Buenos Aires dan La Paz. Para menteri perekonomian dari negara anggota akan berdiskusi selama 60 hari untuk menyusun kegiatan operasional. Sebagian besar modal Bank Selatan dibiayai Venezuela dan Brasil. Argentina menyuntikkan dana sebesar 800 juta dollar AS.
Kesimpulan
Amerika Latin telah memberikan pelajaran berharga bahwa kekuatan dan kemauan untuk hidup mandiri serta lepas dari tekanan Negara lain merupakan upaya luhur uang harus di laksanakan. Sekarang telah terbukti bahwa AS bukanlah dewa penolong namun hidup gotongroyong kekuatan kawasa (regional) merupakan kekuatan utama menuju suatu masyarakat yang berdikari.
Daftar pustaka ;
[1] www.kainsa.com Di akses 30-mei-2008, Wawan Kurniawan, Pendiri Kajian Internasional Strategis (KAINSA) 17-agst-07.
[2] http://perso.club-internet.fr/kontak) Di akses 30-mei-2008 “PRESIDEN VENEZUELA HUGO CHAVEZ MENGANJURKAN PEREBUTAN KEKUASAAN UNTUK SOSIALISME ABAD KE-21” A. Umar Said.
[3] www.Indoprogres.com , Di akses 30-mei-2008, Amerika Latin bergerak ke “Kiri?” Nur Iman Subono.
[4] www.Indoprogres.com , Di akses 30-mei-2008, “Sosialisme abad-21” A. Umar Said.
[5] The Institute Of Technology of Islamic Students University “PELAJARAN DARI VENEZUELA” di akses 30-mei-08.
[6] www.kapanlagi.com , Di akses 30-mei-2008, Senin, 10 Desember 2007 22:15 ‘Enam Presiden Amerika Selatan Bentuk 'Bank Of The South'

Suku Aborigin di Australi (gafur djali)



Australia adalah negara terbesar keenam di dunia dari segi luasnya, lebih kecil bila dibandingkan dengan Rusia, Kanada, Cina, Amerika Serikat, dan Brasil. Australia adalah benua terkecil, sedangkan yang terbesar adalah Asia yang luasnya 44.614.000 km2. Manusia menghuni Australia sudah sejak lama sekali. Penghuni asli Australia disebut orang Aborijin. Dalam bahasa Latin kata 'aborigine' mempunyai arti 'dari awal mula'.
Umumnya orang percaya bahwa mereka (aborijin) telah tinggal di Australia setidaknya selama 60.000 tahun. Beberapa bukti ilmiah terbaru menunjukkan bahwa manusia telah menghuni Australia lebih dari 60.000 tahun yang lalu. Tampaknya beberapa orang Aborijin ini datang dari Asia Tenggara selama zaman es. Pada waktu itu permukaan laut lebih rendah daripada sekarang dan celah pemisah antara Australia dan Indonesia lebih sempit.

Bangsa aborigin
Bangsa Aborigin adalah penduduk asli/awal benua Australia dan kepulauan disekitarnya, termasuk juga mencakup Tasmania dan kepulauan selat Torres. Kata aborigin dalam bahasa Inggris mempunyai arti "penduduk asli/penduduk pribumi", dan mulai digunakan sejak abad ke-17 untuk mengacu kepada penduduk asli Australia saat itu.
Saat ini belum ada teori yang jelas atau berterima tentang asal ras bangsa aborigin Australia. Meskipun mereka bermigrasi ke Australia melalui Asia Tenggara, namun tidak ada keterkaitan dengan populasi suku-bangsa di Asia, dan juga dengan penduduk kepulauan yang berdekatan, seperti Melanesia dan Polinesia.
Saat pertama kali terjadi kontak dengan Eropa, diperkirakan terdapat sekitar 250.000 hingga 1 juta orang tinggal di Australia. Level populasi ini diperkirakan pula telah cukup stabil selama ribuan tahun.


Sejak hunian orang Eropa

Pada tahun 1770, James Cook mendarat di pantai timur Australia dan mengambilalih daerah tersebut dan menamakannya sebagai New South Wales, sebagai bagian dari Britania Raya. Kolonisasi Inggris di Australia, yang dimulai pada tahun 1788, menjadi bencana besar bagi penduduk aborigin Australia. Wabah penyakit dari eropa, seperti cacar, campak dan influenza menyebar di daerah pendudukan.
Para pendatang, menganggap penduduk aborigin Australia sebagai nomad yang dapat diusir dari tempatnya untuk digunakan sebagai kawasan pertanian. Hal ini berakibat fatal, yaitu terputusnya bangsa aborigin dari tempat tinggal, air dan sumber hidupnya. Terlebih lagi dengan kondisi mereka yang lemah akibat penyakit. Kondisi ini mengakibatkan populasi bangsa aborigin berkurang hingga 90% pada periode antara 1788 - 1900. Seluruh komunitas aborigin yang berada pada daerah yang cukup subur di bagian selatan bahkan punah tanpa jejak.
Sesudah tahun 1788, orang-orang Eropa secara sedikit demi sedikit mengambil alih seluruh Australia. Mereka dengan segera melebihi jumlah orang Aborijin Australia. Orang Eropa menganggap tanah Australia sebagai tanah yang luas dan umumnya kosong oleh karena itu, mereka menyebutnya terra nullius, yaitu tanah yang kosong. Orang Aborijin memandang segala hal secara berbeda. Mereka telah menempati Australia selama ribuan tahun. Bagi mereka, tanah mereka telah dijajah oleh orang Eropa dan tanah itu tidak lagi memiliki mereka.
Pada tahun 1788, ketika orang Eropa mulai mendirikan daerah hunian di Australia, jumlah orang Aborijin mungkin berkisar antara 30.000 dan 1,5 juta orang. Suku-suku Aborijin harus memutuskan apakah mereka akan menolak atau menerima pendatang baru. Pada umumnya terjadi perlawanan dari orang Aborijin terhadap hunian orang Eropa dan seringkali perlawanan itu keras. Namun, orang Aborijin seringkali bekerja bagi orang Eropa sebagai pemandu, pembantu rumah tangga, pekerja pertanian, penjaga ternak, dan bahkan sebagai polisi


Akibat asimilasi

  1. - Dampak kesehatan :Timbul penyakit baru yang menyebabkan wabah yang menyebabkan kematian banyak orang Aborijin. Obat bius, seperti tembakau dan alkohol juga diperkenalkan. Keduanya terus-menerus menimbulkan akibat yang serius terhadap kesehatan orang Aborijin.
  2. - Pola konsumsi :Makanan baru, seperti tepung gandum dan gula juga punya andil dalam memperburuk kesehatan masyarakat Aborijin yang sudah terbiasa dengan makanan yang berbeda.
  3. - Dampak social :Banyak orang Aborijin yang mulai pola hidup seperti orang eropa hal ini di fasilitasi oleh Pemerintah (colonial) memberikan pakaian dan makanan, bahkan perumahan kepada orang-orang Aborijin yang tidak mempunyai tempat tinggal. banyak orang Aborijin yang dipaksa tinggal di daerah suaka yang kecil atau di daerah misi gereja. Dalam upaya untuk membuat mereka menjadi lebih seperti orang Eropa, beribu-ribu anak Aborijin dilepaskan dari keluarga Aborijinnya untuk dibesarkan dengan cara Eropa.
  4. - Dampak kebudayaan :Pada saat itu dianggap bahwa orang Aborijin akan lebih baik keadaannya jika hidupnya seperti cara orang Eropa. Namun, Dengan demikian, orang Aborijin Australia kehilangan kebebasan mereka dan kehidupannya menjadi sangat terkendalikan.Mereka benar-benar mengalami bahaya kehilangan kebudayaan mereka. Pemerintah menyadari keadaan orang Aborijin yang menyedihkan tersebut. Hal ini ternyata mempunyai dampak yang merusak bagi kehidupan orang Aborijin dan budayanya, dan masih dirasakan sampai sekarang. Sekarang kebijakan untuk "mengasimilasikan" orang Aborijin ke dalam budaya Eropa telah dihentikan Sejak tahun 1960-an.


Konflik Tasmania dan genosida
Di Tasmania konflik yang terjadi di antara para pemukim dari Eropa dan orang-orang Aborijin adalah yang paling serius. Semakin meningkatnya konflik tersebut akhirnya mendorong Pemerintah Kolonial untuk menyatakan undang-undang darurat perang. Banyak orang Aborijin yang terbunuh dengan adanya sistem ini. Populasi Aborijin Tasmania menurun dari kira-kira 6,000 orang pada tahun 1803 menjadi kira-kira 500 orang pada tahun 1830.
Orang-orang yang tersisa dipindahkan ke Pulau Flinders di Selat Bass. Sebagian dari orang-orang ini melakukan perkawinan silang dengan orang-orang Eropa, tetapi menjelang tahun 1976 tidak ada lagi orang Aborijin Tasmania yang masih hidup.
Perburuan terhadap orang Aborigin sudah dilakukan sejak masa awal Australia-Eropa. Tujuan pertamanya adalah merebut tanah-tanah kaum Aborigin, untuk dijadikan lading pertanian dan peternakan para pendatang Eropa. Di Tasmania, sebuah pulau di tenggara Australia, misalnya, lebih dari 1.200 orang Aborigin dibantai pada 1820.
Suasananya, ketika itu, tak ubahnya perburuan binatang liar. Para korban, yang sebagian besar sama sekali tak bersenjata, ditembaki secara membabi buta, atau ditikam dengan kelewang. Tak peduli wanita atau anak-anak, orang uzur atau yang sudah menyatakan berserah diri. Segelintir sisa yang selamat lalu naik ke gunung-gunung batu, hidup sepenuhnya dari sedekah alam. Tapi, 17 tahun sebelumnya, beberapa pendatang Eropa sudah membunuh sejumlah Aborigin Tasmania di Ridson.
Pada 1830, lebih dari 3.000 pendatang Eropa membentuk apa yang mereka sebut Black Line (Garis Hitam). Melalui garis imajiner ini, mereka berjuang untuk mengurung seluruh warga Aborigin Tasmania, dan menggiring mereka ke Semenanjung Tasmania, jauh dari masyarakat pendatang. Upaya ini gagal. Namun, sejumlah warga Aborigin bisa dipindahkan ke Pulau Flinders.
Para kolonialis tidak hanya datang membawa bedil, kelewang, dan nafsu membunuh. Mereka juga memboyong berbagai penyakit "modern", yang sebelumnya tak dikenal oleh orang Aborigin. Penyakit itu adalah influenza, cacar, campak, batuk rejan, dan -tentu saja- raja singa. Cacar, misalnya, berjangkit dengan buas di sekujur Victoria, New South Wales, Queensland, dan Australia Selatan, terutama pada periode 1829-1831.
Setiap gubernur Australia dan pemerintah federal negeri itu hingga 1915 bercita-cita untuk mengucilkan orang Aborigin. Mereka melancarkan program "asimilasi", istilah eufimistis untuk pemusnahan. Menurut program itu, orang Aborigin harus berasimilasi dengan "masyarakat normal", atau "mati sebagai ras". Masyarakat normal yang dimaksud tentulah masyarakat kulit putih.

Titik balik masyarakat aborijin
Sejak tahun 1960-an situasinya berubah Orang Aborijin Australia mempunyai kewarganegaraan penuh. Pemerintah Australia telah mulai berkonsultasi dengan masyarakat Aborijin mengenai kebutuhan mereka. Gaji, pendidikan, perumahan, layanan kesehatan, dan layanan kesejahteraan telah jauh dikembangkan. Namun, perbaikan ini tidak mengarah ke perbaikan mutu kehidupan orang Aborijin agar mencapai standar yang sama dengan orang Australia yang non-Aborijin.

Rekonsiliasi

Orang Aborogin dan Torres Strait Islander menderita kerugian besar dan ketidakadilan setelah orang-orang Inggris bermukim di sini pada akhir abad ke 18. Banyak dari antara mereka yang menjadi korban penyakit yang dibawa oleh orangorang kolonial tersebut; banyak sekali dari suku pribumi ini yang direbut tanahnya; and sistem sosial serta kekeluargaan mereka menjadi terganggu dan hampir musnah. Sampai tahun 1960-an sedikit sekali pengakuan resmi yang diberikan pada kebudayaan serta sejarah orang Aborigin dan Torres Strait Islander atau pada hak serta tanggung jawab mereka sebagai warganegara.
Walaupun Undang-undang Kebangsaan dan Kewarganegaraan / Nationality and Citizenship Act (1948) memberikan kewarganegaraan pada semua penduduk Australia, tidak semua suku pribumi Australia menerima semua hak politik, sosial dan ekonomi yang dinikmati orang Australia lainnya sampai lama setelahnya.
Sejak tahun 1967 waktu suku Aborigin dan Torres Strait Islander menerima hak untuk memberikan suara pada semua pemilihan Commonwealth, State dan Territory, suku pribumi Australia telah berjuang banyak untuk mencapai keadilan dan persamaan hak. Kebijakan Pemerintah tentang penentuan kebulatan tekad sendiri telah mendorong keterlibatan suku pribumi dalam mengambil keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.
Pada tahun 1991 Dewan Rekonsiliasi Aborigin dibentuk untuk mempromosikan Rekonsiliasi antara suku pribumi Australia dengan penduduk Australia lainnya. Untuk Dewan ini, tujuan Rekonsiliasi adalah: persatuan negara Australia yang menghormati tanah air kita; menghargai warisan suku Aborigin dan Torres Strait Islander; dan memberi keadilan serta persamaan hak pada semua orang.

Pada tahun 1966 Parlemen Australia membuat pernyataan komitmen tentang persamaan hak bagi semua orang Australia. Ini termasuk komitmen dalam proses rekonsiliasi dengan suku Aborigin dan Torres Strait Islander – khususnya dalam mengatasi kerugian sosial dan ekonomi mereka.
Pada bulan November 2000 pemerintah Australia dan semua pemerintah State dan Territory membuat komitmen untuk meneruskan dukungan mereka pada proses Rekonsiliasi dengan memperkecil kerugian yang dihadapi oleh suku pribumi Australia. Rekonsiliasi sekarang merupakan hal yang penting bagi masyarakat Australia. Ada banyak debat tentang apa arti rekonsiliasi, dan tentang bagaimana hal tersebut dapat dicapai di Australia. Proses menuju rekonsiliasi bukanlah suatu proses yang mudah, tapi Australia telah mengambil beberapa langkah penting dalam beberapa tahun terakhir ini. Pendidikan merupakan bagian penting dari proses ini.

Orang Aborijin pada masa kini
Penduduk Aborijin telah berkembang jumlahnya akhir-akhir ini dan distribusinya telah banyak berubah. Penduduk Aborijin kira-kira 458.520 (2001) orang atau kira-kira 2% atau 460.000 sekitar 2,3% dari penduduk Australia yang berjumlah 20 juta (kompas, 2007). Mayoritas orang Aborijin sekarang tinggal di kota-kota. Beberapa orang Aborijin Australia telah menikah dengan orang yang bukan Aborijin. Banyak anak-anak dari hasil pernikahan ini yang tetap tinggal dalam masyarakat Aborijin dan menganggap dirinya sebagai orang Aborijin. Banyak dari mereka yang dulunya terpisah dari keluarganya melalui kebijakan lama (untuk menggunakan cara Eropa) kemudian berupaya menyatu kembali dengan keluarganya.

Jumlah populasi suku aborijin pada sensus penduduk tahun 2001.
• New South Wales - 134,888
• Queensland - 125,910
• Western Australia - 65,931
• Northern Territory - 56,875
• Victoria - 27,846
• South Australia - 25,544
• Tasmania - 17,384
• ACT - 3,909
• Other Territories - 233


Permasalahan baru
Kemiskinan lebih umum dijumpai di antara orang Aborijin daripada orang Australia lainnya. Mereka mengalami:
 tingkat pengangguran yang tinggi;
 pendapatan yang lebih rendah;
 harapan hidup yang lebih pendek;
 tingkat kematian bayi yang lebih tinggi;
 lebih banyak penyakit, seperti kencing-manis, kelainan dalam peredaran darah dan pernapasan, penyakit telinga dan kelainan mata;
 keadaan perumahan yang berdesak-desakan, terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil.

Komitmen pemerintah
Pemerintah Australia berketetapan untuk memperbaiki situasi ini. Pemerintah mengakui bahwa perbaikan hanya akan dapat dicapai melalui perubahan dalam sikap masyarakat dan dengan mengakui hak-hak warganegara asli Australia tersebut. Perbaikan kesehatan dan perumahan dianggap sebagai hal yang sangat penting. Layanan pendidikan juga telah diberikan kepada orang-orang Aborijin. Bantuan pemerintah telah memungkinkan orang-orang Aborijin untuk memasuki semua tingkat pendidikan serta pendidikan tinggi dan pendidikan teknik. Di beberapa tempat, masyarakat Aborijin telah mendirikan sekolah-sekolah dengan dukungan pemerintah.













Daftar pustaka ,

 http:// www. Wikipedia Indonesia.com (05-des-2007)
 http:// www. soc.culture.indonesia, (05-des-2007)
 http:// www. Kompas.com (05-des-2007)
 http:// www.unisosdem.org (05-des-2007)
 http://www.immi.gov.au (05-des-2007)

REPUBLIK MALUKU SELATAN (RMS) NASIONALISME, SEPARATISME ATAU IREDENTISME (gafur djali)



Kasus penyusupan aktivis "Republik Maluku Selatan" (RMS) dalam acara Hari Keluarga Nasional (Harganas) XIV di Ambon yang dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (30/6/2007) mengundang reaksi masyarakat warga Maluku di Ambon sendiri dan di kota-kota lain di Indonesia. Mereka menolak aksi separatisme yang mengatas namakan masyarakat Maluku Selatan itu.
Kejadian besar tersebut telah menimbulkan dua interpretasi yang saling bertolak belakang. Pandangan di satu sisi cenderung memahami bahwa peristiwa itu tidak bisa dibaca dengan sederhana terkait dengan implikasi akibat kejadian tersebut. Implikasi yang paling dekat adalah semakin tinginya frekuensi timbulnya ekskalasi konflik di daerah tersebut. Namun pandangan yang sebalaiknya melihat bahwa peristiwa tersebut tidaklah akan menimbulkan efek bola salju bagi timbulnya ekskalasi konflik, sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.
Bukan hanya sekali ini Indonesia menghadapi kaum separatis. Mulai dari Kartosuwiryo dengan DI/TII sampai GAM (Gerakan Aceh Merdeka), OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan kini RMS, semuanya bertujuan memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sebagaimana gerakan separatis yang lain, gerakan separatis di Indonesia juga ingin diketahui oleh dunia agar perjuangannya mendapat dukungan.
Pengibaran bendera Benang Raja (bendera RMS) hanyalah upaya RMS dalam menggalang dukungan dan simpati dari pihak dalam maupun luar negeri, hal ini di kerenakan aktifitas RMS suda mendapat tekanan di dalam negeri terutama pemerintah pusat dan masyarakat maluku hal ini di karenakan tergiur keberhasilan Timor-Timur yang berhasil memisahkan diri dengan NKRI serta GAM yang telah menandatangani MOU dengan pemerintah pusat.
Bila kita mengkaji kesejarahan munculnya gerakan-gerakan separatis di Indonesia yang muncul pada periode 50-an yaitu ketika Hatta menjadi perdana menteri menggantikan Amir Syrifuddin Harahap. Maka muncul pertanyaan baru, apakah aksi-aksi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut (terutama RMS) merupakan aksi Separatisme, Nasionalisme ataukah Iredentisme ?
Nasionalisme
Nasionalisme adalah suatu identitas kolektif yang secara emosional mengikat banyak orang menjadi satu bangsa. Bangsa menjadi sumber rujukan dan ketaatan tertinggi bagi setiap individu, sekaligus identitas nasional. Ada beberapa konflik nasionalis meliputi perselisihan antar kelompok etnik, rasial, dan kelompok berbahasa sama yang merasa dirinya sebagai bangsa. Ada dua bentuk utama konflik nasionalisme (perang modern) yaitu separatisme dan iredentisme.

Separatisme
Separatisme adalah upaya suatu kelompok nasionalis mencoba melepaskan dir dari suatu Negara untuk membentuk sebuah Negara baru. Kebanyakan dari Negara-bangsa memiliki sejumlah penduduk minoritas, meskipun telah berasimilasi cukup lama dengan penduduk-penduduk lainnya namun banyak kelompok minoritas masih merasa terpisah dan berbeda. Rasa perbedaan ini kemudian menjadi tuntutan formal yaitu pemisahan wilayah untuk membentuk sebuah Negara baru atau meminta otonomi internal (khusus) dan bebas dari Negara induk (pemerintahan pusat). Dalam hal ini tidak lepas dari campur rangan asing yang mempunyai kepentingan lebih, baik yang mendukung gerakan separatisme ataupun mendukung pemerintah (Negara pusat). Beberapa contoh gerakan separatisme diantaranya:
 Spanyol : Basque, Catalan
 Inggris : katolik Ulster
 Kanada : Quebec Prancis
 India : kaum Sikh

Iridentisme
Iredentisme adalah perjuangan bangsa yang terpecah menuju reunifikasi, dan iredenta adalah wilayah hunian sebagai etnik nasional yang di anggap sebagai wilayah yang hilang atau tercuri. Contoh dari iredentisme di antaranya, tuntutan Pakistan kepada India atas Kashmir.
Dalam perselisihan global konflik perbatasan (geopolitik) menjadi masalah yang sensitive. Pada banyak kasus penetapan garis batas (terutama melalui perang dan penaklukan) mengabaikan garis pembagian alam antar bangsa yang berbeda. Garis politik serinng tidak sesuai dengan peta etnogeografis hal ini mengakibatkan sebuah bangsa kerap kali terbagi dalam dua Negara, (Vietnam Utara dan Vietnam Selatan).
Kemunculan Separatisme Di Indonesia
Masa-masa awal kemerdekaan merupan tonggak penting peletak landasan sejarah bangsa ke depan. Indonesia Era 1945-1949 dimulai dengan masuknya Sekutu diboncengi oleh Belanda (NICA) ke berbagai wilayah Indonesia setelah kekalahan Jepang, dan diakhiri dengan Pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Terdapat banyak sekali peristiwa sejarah pada masa itu, pergantian berbagai posisi kabinet, Aksi Polisionil oleh Belanda, berbagai perundingan, dan peristiwa-peristiwa sejarah lainnya.
tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.
Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.
Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.
Tanggal 10 Februari 1946, pemerintah Belanda membuat pernyataan memperinci tentang politiknya dan menawarkan mendiskusikannya dengan wakil-wakil Republik yang diberi kuasa. Tujuannya hendak mendirikan persemakmuran Indonesia, yang terdiri dari daerah-daerah dengan bermacam-macam tingkat pemerintahan sendiri, dan untuk menciptakan warga negara Indonesia bagi semua orang yang dilahirkan di sana. Masalah dalam negeri akan dihadapi dengan suatu parlemen yang dipilih secara demokratis dan orang-orang Indonesia akan merupakan mayoritas. Kementerian akan disesuaikan dengan parlemen tetapi akan dikepalai oleh wakil kerajaan. Daerah-daerah yang bermacam-macam di Indonesia yang dihubungkan bersama-sama dalam suatu susunan federasi dan persemakmuran akan menjadi rekan (partner) dalam Kerajaan Belanda, serta akan mendukung permohonan keanggotaan Indonesia dalam organisasi PBB.
Konferensi Malino
Bulan Juni 1946 suatu krisis terjadi dalam pemerintahan Republik Indonesia, keadaan ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda yang telah mengusai sebelah Timur Nusantara. Dalam bulan Juni diadakan konferensi wakil-wakil daerah di Malino, Sulawesi, di bawah Dr. Van Mook dan minta organisasi-organisasi di seluruh Indonesia masuk federasi dengan 4 bagian; Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Timur Raya.
Perundingan Linggarjati
Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut :
• Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
• Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
• Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
DR H J Van Mook kepala Netherland Indies Civil Administration (NICA) yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda, dengan gigih memecah RI yang tinggal 3 pulau ini Bahkan sebelum naskah itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947, *28 ia telah memaksa terwujudnya Negara Indonesia Timur, dengan presiden Sukowati, lewat Konferensi Denpasar tanggal 18 - 24 Desember 1946.

Agresi Militer I
Pada tanggal 27 Mei 1947, Belanda mengirimkan Nota Ultimatum, yang harus dijawab dalam 14 hari, yang berisi:
1. Membentuk pemerintahan ad interim bersama;
2. Mengeluarkan uang bersama dan mendirikan lembaga devisa bersama;
3. Republik Indonesia harus mengirimkan beras untuk rakyat di daerahdaerah yang diduduki Belanda;
4. Menyelenggarakan keamanan dan ketertiban bersama, termasuk daerah daerah Republik yang memerlukan bantuan Belanda (gendarmerie bersama); dan
5. Menyelenggarakan penilikan bersama atas impor dan ekspor
Perdana Menteri Sjahrir menyatakan kesediaan untuk mengakui kedaulatan Belanda selama masa peralihan, tetapi menolak gendarmerie bersama. Jawaban ini mendapatkan reaksi keras dari kalangan parpol-parpol di Republik.
Melihat aksi Belanda yang tidak mematuhi perjanjian Linggarjati membuat Sjahrir bingung dan putus asa, maka pada bulan Juli 1947 dengan terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri, karena sebelumnya dia sangat menyetujui tuntutan Belanda dalam menyelesaikan konflik antara pemerintah RI dengan Belanda. Setelah terjadinya Agresi Militer Belanda I pada bulan Juli, pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifudin yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Perjanjian Renville
Sementara peperangan sedang berlangsung, Dewan Keamanan PBB, atas desakan Australia dan India, mengeluarkan perintah peletakan senjata tanggal 1 Agustus 1947, dan segera setelah itu mendirikan suatu Komisi Jasa-Jasa Baik, yang terdiri dari wakil-wakil Australia, Belgia dan Amerika Serikat, untuk menengahi perselisihan itu .
Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan lain, yang bisa diterima oleh yang kedua belah pihak yang berselisih. Akan terjadi perdamaian yang mempersiapkan berdirinya zone demiliterisasi Indonesia Serikat akan didirikan, tetapi atas garis yang berbeda dari persetujuan Linggarjati, karena plebisit akan diadakan untuk menentukan apakah berbagai kelompok di pulau-pulau besar ingin bergabung dengan Republik atau beberapa bagian dari federasi yang direncanakan Kedaulatan Belanda akan tetap atas Indonesia sampai diserahkan pada Indonesia Serikat.
Pada tanggal 19 Januari ditandatangani persetujuan Renville Wilayah Republik selama masa peralihan sampai penyelesaian akhir dicapai, bahkan lebih terbatas lagi ketimbang persetujuan Linggarjati : hanya meliputi sebagian kecil Jawa Tengah (Jogja dan delapan Keresidenan) dan ujung barat pulau Jawa -Banten tetap daerah Republik Plebisit akan diselenggarakan untuk menentukan masa depan wilayah yang baru diperoleh Belanda lewat aksi militer. Perdana menteri Belanda menjelaskan mengapa persetujuan itu ditandatangani agar Belanda tidak "menimbulkan rasa benci Amerika".
Dari adanya Agresi Militer I dengan hasil diadakannya Perjanjian Renville menyebabkan jatuhnya pemerintahan Amir Sjarifuddin pada tanggal 23 Januari 1948. Dengan pengunduran dirinya ini dia mungkin mengharapkan akan tampilnya kabinet baru yang beraliran komunis untuk menggantikan posisinya. Harapan itu menjadi buyar ketika Soekarno berpaling ke arah lain dengan menunjuk Hatta untuk memimpin suatu 'kabinet presidentil' darurat (1948-1949), dimana seluruh pertanggungjawabannya dilaporkan kepada Soekarno sebagai Presiden.
Perjanjian Renville tidak lebih baik daripada perundingan di Linggarjati. Kedua belah pihak menuduh masing-masing melanggar perdamaian, dan Indonesia menuduh Belanda mendirikan blokade dengan maksud memaksanya menyerah. Bulan Juli 1948, Komisi Jasa-jasa Baik, yang masih ada di tempat mengawasi pelaksanaan persetujuan itu, melaporkan bahwa Indonesia mengeluh akan gencatan senjata yang berulang-ulang.
Agresi Militer II
Agresi Militer II terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara.
Perjanjian Roem Royen
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen. Isi :
- Pemerintah Indonesia akan dikembalikan ke Yogyakarta.
- Indonesia dan Belanda akan segera mengadakan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Yang menghasilkan kesepakatan:
• Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat.
• Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.